Monday, November 14, 2005

Danang atau Dannang?

Hidup di kota berpolusi kayak Jakarta emang gak enak..tapi sejauh apapun elo pergi tetep aja kangen ama Jakarta..percaya deh..gue juga gak ngerti kenapa

Belom lagi kalo pagi..mesti ngantri jalan tol yang kalo dipikir emang bukan jalan bebas hambatan lagi. Langsung teringat perkataan ibu seorang temanku..”wah danang kamu rumahnya di jatibening, mesti ke kantor di blok m trus langsung kuliah di depok..kamu udah kaya ngukur jalanan di Jakarta ya?” ya emang bener juga tuh perkataan...belum lagi ancaman stress yang lumayan deh…kerja sebagai designer eh art director eh illustrator..ya apalah orang mau nyebut toh kerjaannya sama aja...eh maksut gue dikit deng bedanya..

Pernah punya maksud beralih profesi menjadi apa kek yang laen dari kebiasaan..mungkin jadi seorang teknisi di perusahaan telekomunikasi atau mungkin jadi seorang akuntan publik…gak mungkin sih kalo ngeliat jalur pendidikan yg gue punya…udah gitu gak ada tampang buat serius2 gitu. Bawaannya pengen cuwawakan mulu. Ya sudah, toh semua sudah ada jalurnya masing-masing, yang tentu saja semuanya baik. Daripada malah memperkeruh keadaan, lebih baik kita balik ke topik semula yaitu Jakartaku yang kucintai. Ya walaupun sempat terpikir juga sih gak mau lagi tinggal di Jakarta…dimana kek bandung mungkin atau malah di luar negeri sekalian kalau dana memungkinkan-red, tapi kok kalo dipikir lebih lanjut, dimanapun kita hidup pasti akan tetap ada masalah yang membebani juga. Yang pertama, kita harus bisa beradaptasi dengan lingkungannya, belum lagi aturan yang dianut. Kalo di Jakarta mungkin yang terberat adalah polusi dan macetnya itu. Tapi kalo dibandung, siapa bilang gak macet? Sama aja kok. Apalagi di luar negeri pasti lebih banyak lagi masalahnya, orang asia sering dianggap makhluk kelas 2…belum lagi tampang gue dan nama gue yang cukup sering disangkain orang VIETNAM…cina enggak, melayu juga nanggung…(then I always tell them that my name is danang not dannang) dan juga secara disana mereka cukup rasis dan persaingan yang amat ketat…gitu si kata orang yg pernah tinggal di luar…ya walaupun gue gak sepenuhnya percaya juga kok..kalo kita baik pasti mereka juga baik sama kita dan kalau kita memang qualified pasti bisa bersaing juga sama mereka…Jadi intinya semua itu sama aja. Dimanapun kita tinggal, apapun pekerjaan kita, dll. yang namanya masalah akan tetap ada, tapi yang perlu dipercayain si katanya cuma satu bahwa Tuhan gak pernah ngasih masalah di luar kekuatan manusia..itu aja kok..simpel kan? -danang-

Lebih baik tidak lebih

Menatap indahnya hari ini

Hanya sesaat memang, senja begitu cepat datang

Berbagai cerita terlontar membuat segalanya lebih baik.

lebih dan lebih baik dari sebelumnya

Tak bisa dipungkiri perasaan itu kembali lagi

Tapi cukuplah.

Batasan itu banyak sekali, yang membuatku berpikir ribuan kali

Memang seharusnya seperti ini yang dilewati

Tidak kurang tidak lebih

Karena aku tak melihat secercah cahaya didepanku tadi.

Jadi biarlah tetap seperti ini. Selamanya. Mungkin lebih baik.

-danang-

Monday, November 07, 2005

"feminim" dan "maskulim", puass??

Memberi tanggapan terhadap sesuatu terkadang memang menyenangkan. Tidak perlu yang berat-berat seperti kenaikan harga BBM dan sebagainya tapi mulai aja dari hal yang sifatnya kecil, seperti salah pengucapan yang kadang sering bikin tertawa atau malah bikin jengkel. Bukannya gue sok ngajarin atau apa deh. Tapi paling enggak kan kalo kita bicara di depan publik, sebaiknya kita sudah siap dengan apa yang mau kita ucapkan, prepare dikit lah…Setiap hari di televisi kita selalu disuguhi dengan informasi yang sebagian besar tentang selebriti dan gaya hidupnya yang cukup ‘bombastis’. Setelah menonton beberapa saat banyak sekali pengucapan yang dicampur aduk antara bahasa Indonesia-inggris. Eh tapi kalo yang ini gue juga sering kok.. wajarlah, kalo kita sulit mendapat kata padanannya. Tapi kalau sudah seperti ini, “feminin” diucapkan menjadi “feminim”, apa-apaan ini? Udah jelas-jelas ini berasal dari bahasa inggris, yaitu “feminine”. yang kalo diadaptasi ke bahasa Indonesia gak mungkin jadi “feminim”. Apakah pasangan kata “feminim” adalah “maskulim”? Enggak kan? Jadi harusnya “feminin” dan “maskulin”. Bukankah lebih baik begitu? Lalu yang gak kalah banyak adalah menyebut kata “sweater” dengan pengucapan “switer”. Apalagi ini?? Jelas-jelas kalo dilihat dari asal usul katanya, sweat=keringat. Jadi kan “sweater” itu pembuat keringat atau penghangat. Jadi dibacanya bukan “switer”, melainkan “sweter”! Yah tapi sudahlah, malah yang lebih parah saya pernah mendengar ucapan dari seorang Sarah Azhari di sebuah infotainment yang mengatakan dengan bahasa gado-gado yang mungkin anda bisa menilainya sendiri, apa sudah benar atau belum, “Emang, who do you think he are?” begitu katanya. -danang-